SAMBIL TIDUR DUIT MENGALIR? BISA ? BISAAA!!!! AYO IKUTAN!!!

Dollar

Dollar
Mencari dollar sambil tidur

YANG INGIN MENCARI TAMBAHAN DOLLAR/RUPIAH SILAHKAN KLIK LINK BERIKUT INI.

Monday, March 27, 2006

SEKELUMIT TENTANG JILBAB


Jilbab, Tubuh dan Seksualitas

Tulisan : Khotimatul Husna

FAKTA penubuhan telah memaksa manusia memperhatikan persoalan seksualitas, reproduksi, penderitaan, kesenangan, dan lain- lain. Fakta penubuhan yang berhubungan dengan seksualitas erat kaitannya dengan relasi jender. Relasi jender laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi sosial yang bias mengakibatkan relasi kuasa antarjenis kelamin (seks) laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang dan menjadi sebab ketidakadilan jender (gender inequality).

BUDAYA dominan (baca: patriarki) lebih sering menguasai perempuan dalam fakta penubuhan. Perempuan tidak diberi kuasa untuk mendefinisikan tubuhnya sendiri. Dalam arus utama budaya ini, otoritas untuk mendefinisikan tubuh menjadi hak istimewa laki-laki sehingga terjadi kontrol atas tubuh perempuan, badan, status, seksualitas, serta perannya, baik dalam ruang domestik (keluarga) maupun ruang publik (masyarakat).

Lebih jauh lagi, dominasi fakta penubuhan oleh laki-laki tidak hanya dalam pola relasi laki-laki dan perempuan, melainkan juga dalam kekuasaan kelas, yakni dominasi penguasa, raja, kaisar, pembesar, tuan, majikan, suami atas mereka yang inferior dan disubordinasikan di dalam rumah tangganya.

Tindakan diskriminasi atas tubuh dan seksualitas perempuan yang bersumber dari doktrin agama merupakan fakta dan contoh diskriminasi oleh kekuatan dan kekuasaan dominan (penguasa agama). Dalam Islam, misalnya, anggapan bahwa tubuh perempuan adalah aurat yang bisa membangkitkan nafsu seks lawan jenis sampai saat ini masih diyakini sebagai kebenaran.

Anggapan negatif ini membatasi ruang gerak dan kreativitas perempuan dalam semua bidang kehidupan karena semua aturan hidup (hukum yang dibuat penguasa) tidak berpihak kepada perempuan. Misalkan, kewajiban berjilbab bagi perempuan yang diyakini sebagai perintah syariah. Kewajiban berjilbab ini merupakan tindakan pengasingan sosial terhadap perempuan karena mengakibatkan kesulitan bagi perempuan dalam memenuhi fungsi sosialnya. Menurut Qasim Amin (intelektual Mesir), alienasi sosial ini merupakan kejahatan terhadap intelektualitas dan kesehatan, dan yang bertanggung jawab atas kemunduran perempuan muslimah secara umum (Tahrir al-Mar’a, 1928).

Padahal, penafsiran ayat tentang jilbab ini masih menjadi perdebatan (ikhtilaf) dan silang pendapat oleh para ahli fikih (ra’yul basuar) atau bukan hukum agama yang jelas, tepat, dan pasti. Ada tiga ayat Al Quran yang ditafsirkan sebagai perintah penggunaan jilbab atas perempuan, serta dua hadis nabi yang dijadikan landasannya.

Pertama, ayat hijab (kewajiban hijab), meskipun ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi, ayat tersebut tetap berlaku bagi perempuan mukminah lainnya karena mengandung perintah kemuliaan akhlak, yang tentu tidak berlaku pengkhususan. Bagi yang menuntut peniadaan hijab, ayat tersebut tidak bersinggungan sama sekali dengan tradisi model penutup rambut bagi perempuan mukminah. Penamaan penutup kepala dengan hijab dan melandaskannya pada ayat tersebut merupakan tindakan salah kaprah karena hijab secara bahasa adalah as-satir (penutup tertentu/sekat), bukan jilbab atau penutup kepala.

Kedua, ayat khimar, QS 24:31, yakni anjuran untuk menjumbaikan kerudung ke atas dada sebagai koreksi atas tradisi perempuan yang memperlihatkan dadanya. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat Al Quran tersebut memerintah untuk bertutup dan telapak tangan. Bagi yang mendukung peniadaan kewajiban berjilbab, ayat ini meluruskan tradisi berbusana pada zaman itu dengan penekanan pada penutup dada dan agar tidak memperlihatkannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan penutup kepala.

Ketiga, ayat jalabib, QS 33:59, yakni perintah memanjangkan pakaian perempuan untuk membedakan perempuan merdeka dan budak agar tidak digoda oleh laki-laki. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat tersebut menyuruh seluruh perempuan mukminah-budak atau bukan-untuk menutup organ tubuh dan bertindak sopan. Bagi yang tidak mendukung, hukum yang tetap dari ayat tersebut adalah kesopanan dan tidak berlaku pamer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perintah berjilbab (Muhammad Sa’id al-Asyamawi, 2003).

PEMAKNAAN tubuh perempuan sebagai aurat adalah suatu tindakan kekerasan oleh kekuatan yang merasa mempunyai otoritas untuk memaksa dan mengatur pihak yang dikuasainya. Pemaknaan itu muncul akibat dari proses budaya yang timpang, yakni tafsir ajaran agama oleh dominasi laki-laki. Tafsir ajaran agama hanya oleh laki-laki menyebabkan kekosongan tafsir perspektif perempuan sehingga tidak ada harmoni dan keseimbangan dalam tafsir keagamaan.

Dominasi patriarki yang memasuki wilayah agama secara otomatis melahirkan aturan dan dogma agama terhadap tubuh manusia yang bias jender. Bahkan dalam agama seperti Islam dan Kristen, diyakini bahwa problematika tubuhlah yang telah menyebabkan kejatuhan manusia, sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab suci tentang dosa Eva dan Hawa. Stereotip atas watak seksualitas Eva dan Hawa (baca: perempuan) inilah yang menciptakan mitologi tubuh dan seksualitas perempuan sebagai yang negatif inferior.

Tubuh perempuan dianggap sebagai media pembawa dan penyebab kejahatan, seperti tuduhan terhadap korban perkosaan sebagai penyebab terjadinya kejahatan perkosaan terhadap dirinya. Definisi dan gerak tubuh perempuan didefinisikan dan dikontrol sedemikian rupa oleh kuasa patriarki.

Dalam Islam, kontrol terhadap tubuh perempuan yang dilegitimasi oleh teks- teks keagamaan bukan hanya dalam tafsir (seperti tafsir ayat tentang jilbab), bahkan syariat. Menurut Masdar F Mas’udi (Menakar Harga Perempuan, 1999), pandangan atau wacana agama yang mendiskreditkan perempuan di antaranya:

Pertama, dalam fikih terdapat ajaran yang menyatakan perempuan adalah kelemahan dan aurat, maka tutuplah kelemahan itu dengan diam, tak banyak bicara, dan tinggal di rumah. (Kitab Makarim Al-Akhlaq karya Syaikh Radhi Ad-Din)

Kedua, harus adanya izin bagi perempuan bila keluar dari rumah, baik izin dari suami atau ayah, atau harus ditemani muhrim. Bahkan terdapat ajaran yang mengatakan, "Barang siapa tunduk kepada perempuan, maka Allah akan menyusupkan mukanya ke dalam api. Istrilah yang harus tunduk kepada suami, tidak menentang perintah, tidak memberikan sesuatu dan keluar rumah tanpa izin suami."

Ketiga, bahwa suara perempuan adalah aurat, karena itu haram didengar oleh laki-laki yang bukan muhrim. (Kitab Uqud Al-Lujjaini)

Keempat, laki-laki dianggap berhak memukul istri bila istri durhaka menurut pandangan suami. (Kitab Uqud Al-Lujjaini)

Kelima, ibadah perempuan tidak ada artinya bila tidak mau atau menolak untuk melayani suaminya. Tentang ini, Aisyah berkata, "Wahai kaum perempuan, sekiranya kalian menyadari kewajiban kalian kepada suami, niscaya kalian akan bersedia menyeka telapak laki suami dengan muka kalian."

PANDANGAN dan wacana agama yang diskriminatif terhadap perempuan di atas telah melahirkan berbagai tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama, baik kekerasan fisik maupun psikis (mental) serta kekerasan dalam wilayah domestik atau kekerasan di wilayah publik.

Kekerasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan agama terjadi karena pemahaman keagamaan yang menganggap bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan keputusan Tuhan yang tidak dapat diubah (kodrat). Padahal, kekuasaan itu tidak lepas dari proses sosiologis dan kultural. Kekuasaan yang diterjemahkan sebagai milik laki-laki inilah yang mengatur, bertanggung jawab, melindungi warga yang berada di bawah kekuasaannya, sekaligus mengesahkan kekuatan dan kekerasan untuk menjaga kepentingan umum. Dalam kerangka "kuasa patriarki" ini, perempuan mengalami marjinalisasi, diskriminasi, tindak kekerasan, subordinasi, dan tindakan lain yang tidak sensitif jender.

Lebih parah lagi, berbagai tindak kekerasan yang menimpa perempuan dianggap hal sepele dan tidak layak mendapat perhatian khusus atau prioritas di antara problem sosial yang lain. Selama ini perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua yang semua aktivitasnya ditentukan oleh kelas di atasnya, dikontrol seksualitasnya, dibedakan mana good women dan bad women (meminjam istilah Saraswati Sunindyo), dan perlakuan tidak adil lainnya.

Untuk itu perempuan harus memiliki kekuatan tawar dalam menghadapi kekuasaan dalam bentuk apa pun sehingga perempuanlah yang lebih berhak atas tubuhnya sendiri. Sudah tidak sepantasnya terdengar lagi ratapan perempuan "...homeless in own body" (Sheila Jeffreys, The Idea of Prostitution).

Khotimatul Husna Editor Buku Indonesia Tera dan Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Posted by Picasa

No comments:

Post a Comment

CARI DUIT YUKKKKK, KLIK AJAAA!!!!!!!

readbud - get paid to read and rate articles




readbud - get paid to read and rate articles




Dikembangkan oleh Lutfi Budiarto

Masukkan Link anda secara otomatis